“Kita perempuan harus lebih banyak sabarnya, lelaki itu egoisnya tinggi sekali.” Kata ibu di sela-sela air matanya. Tangan mungilku memeluknya erat, mengelus-elus perutnya berharap adik bayi yang di dalam sana tidak ikut menangis.
“Bapakmu pasti balik lagi. Kita keluarganya, perempuan itu hanya pelarian saja.” Di detik itu aku membenci bapak dan bersumpah tidak akan pernah mengijinkan pria manapun seperti bapak masuk dalam kehidupanku.
***
Warung steak tempat kami makan sudah mau tutup, tapi ia masih belum ingin beranjak. Pisau dan garpu sudah tergeletak sejak satu jam yang lalu. Aku memandangnya di sela-sela cahaya lilin di meja. Ia sedang asyik dengan dunianya lagi. Ia tak peduli aku disini sedang menunggu. Menunggunya membagi dunianya denganku. Seringkali aku menerka apa yang sedang ia pikirkan, tapi umumnya terkaanku gagal. Karena ia kemudian akan tiba-tiba mengatakan sesuatu yang jauh berbeda dari apa yang kuterka. Dan kalau aku tidak siap, atau salah menanggapi, ia bisa mengamuk dan menuduhku tak bisa mengerti dia. Apa ia tak tahu bahwa kebanyakan pria tak pintar menebak isi hati wanita? Itu berarti termasuk aku.
“Kamu tidak tahu bagaimana rasanya waktu itu.”
Iya aku memang tak tahu, bisakah kita sudahi percakapan tentang itu lagi? Aku bukan bapakmu.
“Rasanya sakit.”
“Bukankah semua orang pernah merasakan sakit?”
“Sakitnya menua bersamaku.”
“Tolong jangan berkata seperti itu.”
“Kamu tak mengerti.”
“Ya Tuhan berhentilah berpikir kalau kamu adalah orang paling menderita di dunia. Kurasa ada alasannya kenapa bapakmu seperti itu, mungkin ibumu dulu….”
“Stop. Jangan berani-berani menghina ibuku. Kamu tidak punya hak. Kamu lelaki, kamu sama saja seperti bapak!”
Ia akhirnya beranjak dari tempat duduknya. Hanya untuk menumpahkan jus apelnya kepadaku.
Aku tak sanggup lagi.
Jalanan di tengah kota terasa damai. Aku melajukan motor membelah jalan dan udara dingin jam 2 pagi. Aku butuh meredakan pikiran setelah pertengkaran tadi. Beberapa bagian dari diriku mati rasa setiap kali bertengkar dengannya. Kami bertengkar seperti orang gila, bahkan untuk hal yang sangat sepele. Lupa membalas sms, keasyikan jalan sama teman-teman, gugup dan tak banyak bicara saat bertemu keluarganya, dan masih banyak lagi hal lainnya yang kalau kudaftar bisa puluhan kertas banyaknya dengan judul “Daftar Dosaku Yang Tak Bisa Ia Tolerir, Padahal Aku Bahkan Tak Tahu Kalau Itu Dosa”.
Malam itu, aku bukanlah aku lagi. Aku yang mencintainya sudah tak ada. Di titik dimana rasa “aku tak sanggup lagi” jauh lebih besar dari rasa sakit, disitulah titik dimana tanduk-tanduk merah itu mulai bermunculan. Tidak hanya di kepala, bahkan di tangan, di kaki, termasuk di hatiku. Aku mempersilahkannya masuk ke dalam benteng, dan ia dengan mudah merobohkannya. Ia lupa, ia hanya tamu.
Aku butuh dipeluk.
Aku butuh disayangi.
Motorku berhenti di tempat yang seharusnya tak kukunjungi. Tempat dimana pelukan dan kasih sayang itu bisa dibeli. Aku tak peduli. Aku tak sanggup lagi.
***
Sore itu aku memilih untuk sendiri. Senja kali ini terasa hangat sekaligus menyakitkan. Beberapa pasangan sedang menikmati senja sembari sesekali bercumbu di tepi pantai. Jika kepalaku bisa dibedah, kurasa mereka akan menemukan semacam kabel-kabel kusut disitu. Beberapa bahkan kupikir sudah korslet dan menyebabkan kerusakan yang parah. Tak hanya di kepala. Di hatiku juga.
Lalu rasa itu datang lagi. Kesedihan yang teramat. Kesendirian yang terlalu. Pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan yang selalu saja menguap di udara. Air mata yang tak pernah bisa dibendung. Penyesalan untuk setiap pertengkaran yang seharusnya bisa diakhiri dengan pelukan, dan bukannya dengan diam.
Kami seperti pembunuh berdarah dingin. Kata-kata yang dilontarkan adalah seperti pisau yang ditikam berkali-kali ke dalam hati. Kami sudah saling tak peduli. Kami saling menikam dengan brutal. Dan ketika sama-sama telah tergeletak berdarah, tak ada yang mau saling mengobati dengan kata maaf. Kami mengobati diri masing-masing, lalu saling menyalahkan kembali karena hal itu. Menikam pisau yang lebih keji.
Debur ombak semakin nyaring. Jauh di dalam hatiku, beberapa tembok tak kentara itu mulai runtuh.
Aku butuh dipeluk.
Aku butuh disayangi.
Aku butuh dia.
Aku melangkahkan kakiku ke rumahnya, menghambur ke pelukannya dengan paksa. Aku tak peduli. Aku tak sanggup lagi.
“Aku selingkuh.”
…………… tembok-tembok di hatiku bermunculan lagi.
“Aku emosi, kau tak memberiku ruang untuk……”
…………… tembok-tembok itu menjulang tinggi.
***
Aku terbangun dari mimpi burukku. Ruangan kamarku tiba-tiba terasa sangat panas dan aku menjadi sedemikian haus. Perlahan-lahan aku beranjak ke dapur dan di keremangan lampu ruang tamu aku berhenti.
Bapak sedang bersimpuh di kaki ibu.
Tolong, jangan maafkan pria itu.
Bapak menangis memeluk ibu.
Tolong, selamatkan dirimu dari si brengsek itu.
Mereka berdua menangis sambil berpelukan.
Di detik itu aku membenci ibu dan bersumpah tidak akan pernah memaafkan pria manapun seperti ibu memaafkan bapak.
***
“Rasanya sakit.”
“Aku minta maaf.”
“Sakitnya akan menua bersamaku.”
“Tolong jangan berkata seperti itu.”
“Kamu tak kan bisa meruntuhkan tembok-tembok itu.”
“…….”