ketapang

Tinggalkan komentar

meranggas daun-daun ketapang
meranggas di bawah matahari musim panas
perempuan itu menangis
bukan hanya ia yang sedang meranggas

kemana daun-daun pergi
luruh ditiup angin
kemana cinta telah pergi
perempuan itu tak jua mengerti

meranggas daun-daun ketapang
meranggas separuh jiwa perempuan
sama-sama kering
sama-sama kosong

 

 

manado, 21 september 2012

Tembok

1 Komentar

“Kita perempuan harus lebih banyak sabarnya, lelaki itu egoisnya tinggi sekali.” Kata ibu di sela-sela air matanya. Tangan mungilku memeluknya erat, mengelus-elus perutnya berharap adik bayi yang di dalam sana tidak ikut menangis.

“Bapakmu pasti balik lagi. Kita keluarganya, perempuan itu hanya pelarian saja.” Di detik itu aku membenci bapak dan bersumpah tidak akan pernah mengijinkan pria manapun seperti bapak masuk dalam kehidupanku.

 

***

Warung steak tempat kami makan sudah mau tutup, tapi ia masih belum ingin beranjak. Pisau dan garpu sudah tergeletak sejak satu jam yang lalu. Aku memandangnya di sela-sela cahaya lilin di meja. Ia sedang asyik dengan dunianya lagi. Ia tak peduli aku disini sedang menunggu. Menunggunya membagi dunianya denganku. Seringkali aku menerka apa yang sedang ia pikirkan, tapi umumnya terkaanku gagal. Karena ia kemudian akan tiba-tiba mengatakan sesuatu yang jauh berbeda dari apa yang kuterka. Dan kalau aku tidak siap, atau salah menanggapi, ia bisa mengamuk dan menuduhku tak bisa mengerti dia. Apa ia tak tahu bahwa kebanyakan pria tak pintar menebak isi hati wanita? Itu berarti termasuk aku.

“Kamu tidak tahu bagaimana rasanya waktu itu.”

Iya aku memang tak tahu, bisakah kita sudahi percakapan tentang itu lagi? Aku bukan bapakmu.

“Rasanya sakit.”

“Bukankah semua orang pernah merasakan sakit?”

“Sakitnya menua bersamaku.”

“Tolong jangan berkata seperti itu.”

“Kamu tak mengerti.”

“Ya Tuhan berhentilah berpikir kalau kamu adalah orang paling menderita di dunia. Kurasa ada alasannya kenapa bapakmu seperti itu, mungkin ibumu dulu….”

“Stop. Jangan berani-berani menghina ibuku. Kamu tidak punya hak. Kamu lelaki, kamu sama saja seperti bapak!”

Ia akhirnya beranjak dari tempat duduknya. Hanya untuk menumpahkan jus apelnya kepadaku.

Aku tak sanggup lagi.

Jalanan di tengah kota terasa damai. Aku melajukan motor membelah jalan dan udara dingin jam 2 pagi. Aku butuh meredakan pikiran setelah pertengkaran tadi.  Beberapa bagian dari diriku mati rasa setiap kali bertengkar dengannya. Kami bertengkar seperti orang gila, bahkan untuk hal yang sangat sepele. Lupa membalas sms, keasyikan jalan sama teman-teman, gugup dan tak banyak bicara saat bertemu keluarganya, dan masih banyak lagi hal lainnya yang kalau kudaftar bisa puluhan kertas banyaknya dengan judul “Daftar Dosaku Yang Tak Bisa Ia Tolerir, Padahal Aku Bahkan Tak Tahu Kalau Itu Dosa”.

Malam itu, aku bukanlah aku lagi. Aku yang mencintainya sudah tak ada. Di titik dimana rasa “aku tak sanggup lagi” jauh lebih besar dari rasa sakit, disitulah titik dimana tanduk-tanduk merah itu mulai bermunculan. Tidak hanya di kepala, bahkan di tangan, di kaki, termasuk di hatiku. Aku mempersilahkannya masuk ke dalam benteng, dan ia dengan mudah merobohkannya. Ia lupa, ia hanya tamu.

Aku butuh dipeluk.

Aku butuh disayangi.

Motorku berhenti di tempat yang seharusnya tak kukunjungi. Tempat dimana pelukan dan kasih sayang itu bisa dibeli. Aku tak peduli. Aku tak sanggup lagi.

 

***

Sore itu aku memilih untuk sendiri. Senja kali ini terasa hangat sekaligus menyakitkan. Beberapa pasangan sedang menikmati senja sembari sesekali bercumbu di tepi pantai. Jika kepalaku bisa dibedah, kurasa mereka akan menemukan semacam kabel-kabel kusut disitu. Beberapa bahkan kupikir sudah korslet dan menyebabkan kerusakan yang parah. Tak hanya di kepala. Di hatiku juga.

Lalu rasa itu datang lagi. Kesedihan yang teramat. Kesendirian yang terlalu. Pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan yang selalu saja menguap di udara. Air mata yang tak pernah bisa dibendung. Penyesalan untuk setiap pertengkaran yang seharusnya bisa diakhiri dengan pelukan, dan bukannya dengan diam.

Kami seperti pembunuh berdarah dingin. Kata-kata yang dilontarkan adalah seperti pisau yang ditikam berkali-kali ke dalam hati. Kami sudah saling tak peduli. Kami saling menikam dengan brutal. Dan ketika sama-sama telah tergeletak berdarah, tak ada yang mau saling mengobati dengan kata maaf. Kami mengobati diri masing-masing, lalu saling menyalahkan kembali karena hal itu. Menikam pisau yang lebih keji.

Debur ombak semakin nyaring. Jauh di dalam hatiku, beberapa tembok tak kentara itu mulai runtuh.

Aku butuh dipeluk.

Aku butuh disayangi.

Aku butuh dia.

Aku melangkahkan kakiku ke rumahnya, menghambur ke pelukannya dengan paksa. Aku tak peduli. Aku tak sanggup lagi.

“Aku selingkuh.”

…………… tembok-tembok di hatiku bermunculan lagi.

“Aku emosi, kau tak memberiku ruang untuk……”

…………… tembok-tembok itu menjulang tinggi.

 

***

Aku terbangun dari mimpi burukku. Ruangan kamarku tiba-tiba terasa sangat panas dan aku menjadi sedemikian haus. Perlahan-lahan aku beranjak ke dapur dan di keremangan lampu ruang tamu aku berhenti.

Bapak sedang bersimpuh di kaki ibu.

Tolong, jangan maafkan pria itu.

Bapak menangis memeluk ibu.

Tolong, selamatkan dirimu dari si brengsek itu.

Mereka berdua menangis sambil berpelukan.

Di detik itu aku membenci ibu dan bersumpah tidak akan pernah memaafkan pria manapun seperti ibu memaafkan bapak.

 

***

“Rasanya sakit.”

“Aku minta maaf.”

“Sakitnya akan menua bersamaku.”

“Tolong jangan berkata seperti itu.”

“Kamu tak kan bisa meruntuhkan tembok-tembok itu.”

“…….”

Kau lupa menyembunyikan lukamu

Tinggalkan komentar

Kau pintar sekali menyembunyikan sesuatu. Kau sembunyikan air matamu di dalam hati yang sesak. Kau jejalkan kenangan di ruang pekat berdebu otakmu.

Lalu kau mulai menari. Tangan-tangan yang mengajakmu menari kau genggam erat, berharap mereka sedang mengajakmu menari selamanya.

Kau menari, padahal yang kauinginkan sesungguhnya hanya diam. Kau menari dengan hebat, sampai lutut-lututmu tak kuat. Dan ketika kau menyerah, mereka tertawa, melepaskan genggamannya dan pergi. Mereka hanya mencintaimu saat kau menari.

Gemerincing di kakimu semakin bising,
Telingamu mulai tak peka,
Hatimu juga,

Kau, lupa menyembunyikan lukamu.

Tentang seorang wanita yang ingin mencintaimu seumur hidupnya.

6 Komentar

Pernahkah kau berpikir tentang seorang wanita yang saat ini tengah jatuh cinta padamu. Tentang telapak tangannya yang selalu dipenuhi doa-doa; tentangmu, tentang segala yang baik untuk kalian. Jika iya, apakah kau juga sedang mencintainya saat ini?

Kau telah membuatnya jatuh cinta sedemikian rupa, hingga di hatinya seakan ribuan mawar mekar dimana-mana. Ini cinta yang membuat malam-malamnya bercahaya. Seperti sudah digariskan semesta, rasa sayangnya bertambah dari hari ke hari. Dan ia berjanji akan mencintaimu, untuk hal-hal yang menggetarkan dada, membuatnya tertawa ataupun yang menguras air mata.

Jangan ragu. Seorang wanita tak pernah setengah hati dalam mencintai, yah setidaknya aku. Ia tak kan pura-pura tertawa ketika kau sedang menyakitinya, atau marah ketika kau membuatnya bahagia. Tidak. Tapi kadang-kadang ia mennyembunyikan segala kesedihannya, agar kau merasa telah membuatnya bahagia. Tak ada yang salah dengan itu.

Mungkin kau bosan mendengarnya, tapi akan kukatakan sekali lagi. Wanita ini telah menetapkan hatinya untukmu. Wanita ini ingin mencintaimu seumur hidupnya.

Begitu hati-hati aku mencintaimu

13 Komentar

Begitu hati-hati aku mencintaimu. Seperti anak kecil berjinjit di atas tanah, tak mau gaunnya kotor. Padahal di atas sana, langit masih menjatuhkan hujan. Juga kenangan. Disini aku berlari, mencari tempat berteduh. Kadang di senyummu, banyaknya di sepasang matamu.

Apa kau tahu, kau telah menyediakanku atap untuk luka-luka yang mungkin berjatuhan dari pikiran-pikiranku sendiri. Sebuah jendela untukku sesekali melihat ke dalam hatimu. Dan tentu saja pintu untuk membuka impian-impian baru bersamaku.

Begitu hati-hati aku mencintaimu. Seperti anak kecil yang takut dimarahi mama, kalau gaunnya kotor. Padahal hatiku hampir mampat dipenuhi rindu. Aku takut cinta yang terlalu akan menyakiti kita.

Apa kau tahu, kau telah menarik cakrawala jatuh ke bumi. Mengelilingiku dengan ribuan bintang. Dan jika bukan aku, maka kaulah yang mengundang kebahagiaan masuk ke kamarku setiap malam.

Begitu hati-hati aku mencintaimu.
Berjinjit kesana-kemari, agar rindu ini tidak tumpah ruah.

and they live happily ever after…

8 Komentar

Clara menatap dirinya di depan cermin. Gaun putih gading itu pas sekali di tubuhnya. Payet-payetnya mengkilat. Tak kalah berkilau dengan mahkota yang sedang ia kenakan. Lalu wajahnya. Ah, selama dua puluh dua tahun hidupnya ia tak pernah didandani sampai secantik ini. Aku persis seperti Cinderella, ia tersenyum.

“Kamu sudah siap, sayang?”
Aryo dengan tuksedo hitam dan segala karismanya, kembali membuat Clara meleleh. Setelah dua tahun mereka pacaran, Clara akhirnya mampu membuat Aryo bertekuk lutut dihadapannya dan meminangnya.

“I’m ready.”
Clara menggandeng lengan Aryo mantap. Berdua mereka berjalan beriringan menuju altar.

***

Diana menatap dirinya di depan cermin. Ah, kantung mata dan kerutan-kerutan terkutuk itu tak mampu menyembunyikan usianya yang sudah berkepala tiga. Ia menghela nafas panjang.

“Ma, Lala mau dibacain dongeng donk.”
Diana beranjak dari depan cermin, lalu memeluk putri semata wayangnya itu di ranjang.
“Mau dibacain dongeng apa sayang?”
Lala menyodorkan buku dongeng Cinderella ke mamanya.

Diana meraih buku dongeng itu, lalu mulai membacakannya untuk Lala. Sampai pada kalimat “pangeran menikahi cinderella, lalu mereka berbahagia selama-lamanya”, ia tak kuasa menahan air mata.

“Mama kenapa, kok nangis? Ingat papa yah?”
“Ah, gpp sayang.” Diana buru-buru menyeka air matanya dengan daster.

Bagaimana caranya mengatakan pada seorang anak berusia sembilan tahun bahwa tak seperti di dongeng, terkadang dalam hidup, ada seorang Cinderella yang tega merebut pangeran Cinderella lain dan kalimat “and they live happily ever after” yang seharusnya miliknya.

Diana melepas cincin yang berukiran namanya dan Aryo, tepat disaat Aryo menyelipkan cincin kawin yang baru di jari Clara….

Menyelingkuhi Sunyi Dimatamu

1 Komentar

Aku mengecup diam di bibirmu.
Barangkali, tak ada yang lebih manis dari sebuah kecupan dibawah rinai hujan.
Sekalipun ia adalah kecup penghabisan.

Aku menyambangi hening lekuk-lekuk tubuhmu.
Seperti musafir begitu haus pelesir.
Kau selalu membuat aliran darahku berdesir.

Lalu aku pun menyelingkuhi sunyi dimatamu.
Kelak ia akan melahirkan anak-anak rindu, yang meraung-raung dicerai susu ibunya; kamu.

Jelaskan. Jangan dengan bebisuan.
Bagaimana malaikat yang dulu mengikat cintamu di altar,
Tetiba menjadi makhluk bertanduk,
Saat kau taruh cincinmu di atas meja,
Lalu bercinta denganku sampai fajar.

Aku Bahagia…

7 Komentar

Ia memelukku erat. Sangat erat sampai-sampai aku susah bernafas. Ah, betapa nyamannya dipeluk seperti ini. Betapa nyamannya perasaan diinginkan itu. Ya, dia menginginkanku. Aku menghapus air mataku. Apa yang harus kutangisi. Toh ini hanya salah paham. Aku hanya harus menjaga pergaulanku dengan pria. Tak boleh lagi membuatnya kecewa, karena ia benar. Hanya dia satu-satunya pria yang mencintaiku apa adanya. Hanya dia…

Aku mengambil betadine dari kotak obat, berharap lebam di pipiku tak terlalu kelihatan.

Ia berlutut di bawah kakiku memohon. Menangis sambil berulang kali mengatakan bahwa ia sangat mencintaiku, bahwa ia tak bisa hidup tanpa aku. Ah, wanita mana yang tak kan luluh dicintai seperti itu. Ya, dia mencintaiku. Apa yang harus kukuatirkan. Toh lagi-lagi ini hanya salah paham. Aku hanya tak boleh terlalu mendengarkan kata-kata temanku dan seharusnya lebih percaya kepadanya. Yang menjalani hubungan ini kami, mereka tak tahu apa-apa. Mereka tak tahu kalau aku tak boleh pergi. Hanya aku yang mengerti dia, yang mencintainya apa adanya. Hanya aku…

Aku ikut berlutut memeluknya, sambil melap setitik darah disudut bibirku.

“Kamu cantik”, katanya tersenyum.
Akan lebih cantik lagi kalau tanpa bebiruan di pipi, aku tersenyum.
“Kamu kelihatan bahagia”, katanya masih tersenyum.
Kau tak tahu berapa banyak air mata yang kusimpan, aku masih mencoba tersenyum.
“Kamu tak tahu, betapa aku sangat mencintaimu. Aku janji, akan membuatmu jadi wanita paling bahagia di dunia.”, ia menggenggam erat tanganku, menatap mataku lekat-lekat.

Tatapan yang membuatku yakin menerima seperangkat alat sholat darinya sebagai mas kawinku hari itu.

Tahun pertama, bebiruan di pipiku masih bisa disamarkan, seperti saat pacaran dulu.
Tahun ketiga, tak hanya bibir yang berdarah, lenganku pun patah dipelintirnya karena aku mencoba kabur dari rumah.

Orang-orang mungkin tak kan mengerti dan menganggapku bodoh, tapi anggap saja ini insting wanita. Aku tahu jauh didasar hatinya ia benar-benar menyesali semua perbuatannya. Buktinya, sesudah memukulku, ia pasti akan menangis meminta maaf. Kadang-kadang sambil membelikanku terang bulan, seikat bunga, bahkan perhiasan. Ah, mereka tak kan mengerti. Itulah sebabnya aku tak pernah lagi membicarakan hal ini kepada orang lain. Hanya Tuhan yang tahu, maka hanya kepada-Nya aku berani bercerita.

Ini tahun keenam.
Dan ya instingku benar. Ia menepati janjinya. Ia membuatku bahagia.

Semalam tak sengaja kubaca sebuah sms mesra seorang perempuan di ponselnya. Takut-takut kutanyakan hal itu. Tak kusangka ia naik pitam. Kali ini ia seperti kerasukan setan. Dilepaskannya ikat pinggangnya lalu mulai mencambuk dan menendang. Aku mengerang kesakitan di lantai sambil melindungi perutku. Tak kan kubiarkan ia menyakiti makhluk mungil yang baru lima minggu hadir didalam perutku ini. Ditengah-tengah kesakitan yang sangat, aku mulai menangis. Tuhan tolong aku….

Sesudah puas melampiaskan kemarahannya, ia pergi, membiarkanku tergeletak di lantai. Aku menggapai-gapai. Kurasakan dasterku basah. Sesuatu mengalir di kedua pahaku. Awalnya aku ketakutan. Tetapi Tuhan akhirnya membuatku sadar satu hal. Ditengah kesakitanku, aku tersenyum.

Bukan karena seikat besar mawar yang dibawanya pulang, pagi itu.
Bukan karena penyesalannya yang sangat besar yang ditunjukkan oleh muka kusutnya, pagi itu.
Bukan karena raungannya yang membangunkan tetangga, pagi itu.

Tapi karena pagi itu, telah kubawa sebuah nyawa bersamaku. Nyawa yang tak kan pernah merasakan sakit seperti yang aku terima. Aku memeluknya erat, berdua menghilang menuju cahaya.

Terima kasih, untuk bahagia yang tercipta pagi itu….

Mencintaimu…

4 Komentar

Mencintaimu, seperti merasakan embun pagi hari di tangan. Menyejukkan.
Mencintaimu, seperti duduk di tepi pantai di belai angin senja. Menenangkan.
Mencintaimu, seperti kanak-kanak bermain ciprat air di pinggir jalan. Menyenangkan.
Mencintaimu, tak diakhiri tanda tanya lagi, karena hatiku telah kukuh dengan tanda seru.

Lihat, bagaimana semesta berkonspirasi mempertemukan kita.
Dua jiwa yang penuh dengan luka.
Dua hati yang ragu untuk mencinta.
Sekaligus dua keinginan yang sejatinya sama.

Pada sajak-sajakmu kutemukan asmara, sesuatu yang hampir aku lupa. Di hadapan sajak-sajakmu aku merebah, disitu kiblat hatiku berada. Dan sajak-sajakmu pada akhirnya telah membangkitkan harap mustahilku, ingin memilikimu.

Maka pagi ini aku berdoa.

“Semoga Tuhan Pengabul Hal-Hal Mustahil, mencatat namaku dan namamu di telapak tangan-Nya dengan cinta yang hanya cukup untuk kita berdua.”

Aku tahu ini tak kan mudah. Kita seperti sedang menahkodai dua buah kapal yang telah lama berlayar. Dua kapal yang mungkin pernah menabrak karang-karang. Kau tak mungkin meninggalkan kapalmu untuk naik ke kapalku, aku pun demikian. Tapi bukankah kita sedang menuju daratan yang sama? Karena itu ijinkan aku sekedar mengikatkan kapalku dekat kapalmu, lalu berlayar bersama.

“Lelaki penakluk puisi, kuselipkan namamu di dalam Alkitab setiap pagi”

Maafkan segala kenaifan kita, ikhlaskan segala keinginan hati, lalu perdengarkan kepada-Nya setiap pedih yang kita sembunyikan. Kupercayakan kau sebagai imam atas doa-doa kita.

“Aku, wanita yang sedang sangat jatuh cinta. Pagi ini kutahbiskan namamu di sela-sela air mata.”

Mudah-mudahan Tuhan mengerti…

Berjodoh Dengan Matahari

3 Komentar

Aku mengenal dua macam hujan. Yang jatuh dari langit dan yang jatuh dari pelupuk mata.

Hujan yang jatuh dari langit, selalu menumbuhkan rasa sakit. Hati seperti terjepit, dengan rindu yang berderit-derit. Hujan yang jatuh dari pelupuk mata, kadang tercurah tanpa kata-kata. Kadang terselip diantara bibir yang terbata, gigilnya merasuk hingga ke jiwa.

Yang pertama sesekali mengundang yang kedua. Yang kedua kadang-kadang bersembunyi dibelakang yang pertama. Dua-duanya datang dengan haru. Dua-duanya aku tak suka.

Kamu tahu, akhir-akhir ini hujan yang pertama sering sekali mengunjungiku. Bisa kurasakan dingin di atap, jendela, dan pintu-pintu. Sesekali kuresapi aroma tanah yang basah. Di dalam sini ada rindu yang ikut berdarah. Untuk seseorang disana, seseorang yang memaksa masuk di kepala.

Kamu belum mengerti juga, kenapa aku tidak suka hujan? Baiklah kulanjutkan.

Seperti tak mau kalah, hujan yang kedua pun ikut-ikutan mengunjungiku. Sungguh ia tamu yang tidak sopan. Kuusir berkali-kali, tak mau juga ia pergi. Bisa kurasakan rapuh di kelopak mata, lelah. Kalau tak segera kuseka, tak tahu apa jadinya. Dan aku mengutuki diri sendiri, untuk kelemahan ini.

Kamu sekarang mengerti kan, kenapa aku tidak suka hujan?

Hujan yang baik, kumohon berhenti. Bukankah sudah kukatakan aku sedang jatuh cinta. Bagaimana bisa aku bercahaya jika kamu selalu ada. Beri aku sedikit ruang. Untuknya, untuk sesuatu yang kusebut asmara. Kalau pun nanti aku dan dia tak menemukan titik temu, aku janji, kau bebas memelukku selama yang kau mau.

Tapi untuk saat ini, biarkan aku berjodoh dengan matahari…

Older Entries